Kota Padang di awal abad 19 |
7 Agustus 2014, Kota Padang baru saja merayakan
ulang tahunnya yang ke 345. Saya jadi ingin menulis sedikit tentang kota ini.
Saya tidak tahan untuk tidak membandingkan kota ini dengan Pekanbaru,
tempat saya bermukim saat ini. Jujur saja, saat ini tidak banyak yang bisa
dibanggakan dari kota Padang. Saya dengar dari para sesepuh, dulu kota ini
lebih maju dari Pekanbaru. Orang dari Pekanbaru datang ke kota ini untuk
belajar bagaimana membangun dan mengembangkan sebuah kota. Sekarang keadaannya
berbalik. Kota Pekanbaru, dalam usianya yang “baru” 250 tahun sudah jauh lebih
berkembang dari Padang. Dulu Padang adalah sebuah tujuan. Sekarang gantian.
Pekanbaru yang jadi tujuan.
Memang ngeri ngeri sedap hidup di kota Padang. Kota ini termasuk rawan
bencana. Di sebelah barat kota padang terdapat zona subduksi lempeng yang
menyimpan potensi gempa sewaktu-waktu. Tinggal di padang berarti harus siap
olahraga jantung karena gempa bisa datang sewaktu-waktu. Dan, ya, karena berada
di daerah pantai, jadi ada ancaman tsunami. Lalu di sebelah timur ada jajaran
bukit barisan dengan beberapa gunung berapi aktif. Hehe
Saya jadi ingat gempa 2009. Kebetulan saya sedang di padang karena libur
kuliah. Saat itu saya sedang tidur. Bumm!! Gempa!!! Alhamdulillah saya terbangun dan masih bisa
menyelamatkan diri. Keadaannya benar-benar mencekam waktu itu. Chaos. Gedung
gedung runtuh. Kebakaran dimana-mana. Jalanan macet total karena semua orang
lari ke arah perbukitan. Mungkin dari titik inilah kota ini mulai stagnan.
Setelah terjadinya gempa, Pemko melakukan semacam sensus bangunan yang
terkena dampak. Salah satu hasilnya, Bangunan Pasar Raya Padang ternyata dinyatakan
tak layak guna. Pemko bergerak cepat mendirikan kios kios darurat di badan
jalan akses Pasar Raya dengan tujuan agar kegiatan ekonomi bisa terus berjalan
sementara Pasar Raya diperbaiki. Niatnya bagus sih. Tapi kebablasan. Sampai
sekarang Pasar Raya tak pernah selesai diperbaiki. Badan Jalan akses Pasar Raya
sekarang diduduki oleh PKL. Benar-benar semrawut. Sudah hampir 5 tahun lho.
Pasar ini tak pernah kembali normal.
Saya juga memperhatikan, saat ini lampu-lampu penerangan jalan umum kota
padang banyak banget yang rusak. Bahkan jalan protokolnya. Woah sekarang
jalan-jalan di kota Padang jadi banyak yang gelap. Saya kurang tau masalahnya, mungkin
memang sudah rusak. Tapi kalau tidak salah saya pernah baca di koran kalau
Pemko menunggak bayaran ke PLN. Aduh
aduh.
Kota Padang juga tercatat sebagai satu-satunya kota di Indonesia yang tidak
punya terminal.
Beberapa kenalan dekat saya yang merantau ke padang pernah mengeluh tentang
kota ini. Misalnya, kenapa kota ini tidak ada jaringan bioskop? Heheheh. Iya
benar. Tidak ada 21 atau Blitz. Yang ada
adalah bioskop lokal yang filmnya telat berbulan-bulan dibanding ibukota. Tidak
ada Mall. Ehm. Ada sih Basko Grand Mall. Tapi rasanya lebih mirip sebuah plaza
daripada Mall X) Entah apa penyebabnya, tapi selama bertahun-tahun, rasanya
tidak ada investor besar yang masuk ke kota ini.
Keluhan lainnya biasanya tentang perilaku berkendara dan pelayanan publik.
Ini juga tidak bisa saya bantah soalnya saya sendiri juga merasakannya. Senyum
Sapa dan Salam jadi barang langka kalau kita sedang berurusan dengan bidang
pelayanan publik. Disiplin berlalu lintas masih buruk. Walaupun tidak
jelas-jelasan, kok saya ngerasa intinya yang banyak dikeluhkan rekan-rekan saya
soal karakter
masyarakatnya ya.
Wah ini, saya susah sekali menjabarkannya.
...
Saya sedih orang-orang yang
saya anggap dekat mengeluh soal kota ini. Soal orang-orang di kota ini. Lebih
sedih lagi soalnya yang dikeluhkan itu emang bener.
345 tahun umur kota Padang, mari berbenah. Jangan dululah merengek minta
disebut metropolitan. Fokus dulu aja jadi kota kecil tapi menyenangkan bagi
penduduknya. Ya?
Dirgahayu Kota Padang. Kujaga dan Kubela.
Kota Padang
adalah kota kelahiran saya. Di kota ini saya
menghabiskan 19 tahun awal hidup saya. Cerita keluarga, masa
kecil, remaja, dan romantisme pertama saya berkelindan di banyak sudut kota
ini. Saya belajar setiap emosi di dalam kota ini. Saat saya akhirnya
meninggalkan kota ini untuk kuliah, saya berjanji, kota ini adalah tempat saya
kembali.
Nanti.