Jumat, 08 Agustus 2014

P for Padang

Kota Padang di awal abad 19

7 Agustus 2014, Kota Padang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 345. Saya jadi ingin menulis sedikit tentang kota ini.

Saya tidak tahan untuk tidak membandingkan kota ini dengan Pekanbaru, tempat saya bermukim saat ini. Jujur saja, saat ini tidak banyak yang bisa dibanggakan dari kota Padang. Saya dengar dari para sesepuh, dulu kota ini lebih maju dari Pekanbaru. Orang dari Pekanbaru datang ke kota ini untuk belajar bagaimana membangun dan mengembangkan sebuah kota. Sekarang keadaannya berbalik. Kota Pekanbaru, dalam usianya yang “baru” 250 tahun sudah jauh lebih berkembang dari Padang. Dulu Padang adalah sebuah tujuan. Sekarang gantian. Pekanbaru yang jadi tujuan. 

Memang ngeri ngeri sedap hidup di kota Padang. Kota ini termasuk rawan bencana. Di sebelah barat kota padang terdapat zona subduksi lempeng yang menyimpan potensi gempa sewaktu-waktu. Tinggal di padang berarti harus siap olahraga jantung karena gempa bisa datang sewaktu-waktu. Dan, ya, karena berada di daerah pantai, jadi ada ancaman tsunami. Lalu di sebelah timur ada jajaran bukit barisan dengan beberapa gunung berapi aktif. Hehe

Saya jadi ingat gempa 2009. Kebetulan saya sedang di padang karena libur kuliah. Saat itu saya sedang tidur. Bumm!! Gempa!!!  Alhamdulillah saya terbangun dan masih bisa menyelamatkan diri. Keadaannya benar-benar mencekam waktu itu. Chaos. Gedung gedung runtuh. Kebakaran dimana-mana. Jalanan macet total karena semua orang lari ke arah perbukitan. Mungkin dari titik inilah kota ini mulai stagnan.

Setelah terjadinya gempa, Pemko melakukan semacam sensus bangunan yang terkena dampak. Salah satu hasilnya, Bangunan Pasar Raya Padang ternyata dinyatakan tak layak guna. Pemko bergerak cepat mendirikan kios kios darurat di badan jalan akses Pasar Raya dengan tujuan agar kegiatan ekonomi bisa terus berjalan sementara Pasar Raya diperbaiki. Niatnya bagus sih. Tapi kebablasan. Sampai sekarang Pasar Raya tak pernah selesai diperbaiki. Badan Jalan akses Pasar Raya sekarang diduduki oleh PKL. Benar-benar semrawut. Sudah hampir 5 tahun lho. Pasar ini tak pernah kembali normal.
 
Ini seharusnya jalan raya lho~~~
Saya juga memperhatikan, saat ini lampu-lampu penerangan jalan umum kota padang banyak banget yang rusak. Bahkan jalan protokolnya. Woah sekarang jalan-jalan di kota Padang jadi banyak yang gelap. Saya kurang tau masalahnya, mungkin memang sudah rusak. Tapi kalau tidak salah saya pernah baca di koran kalau Pemko menunggak bayaran ke PLN.  Aduh aduh.

Kota Padang juga tercatat sebagai satu-satunya kota di Indonesia yang tidak punya terminal.

Beberapa kenalan dekat saya yang merantau ke padang pernah mengeluh tentang kota ini. Misalnya, kenapa kota ini tidak ada jaringan bioskop? Heheheh. Iya benar.  Tidak ada 21 atau Blitz. Yang ada adalah bioskop lokal yang filmnya telat berbulan-bulan dibanding ibukota. Tidak ada Mall. Ehm. Ada sih Basko Grand Mall. Tapi rasanya lebih mirip sebuah plaza daripada Mall X) Entah apa penyebabnya, tapi selama bertahun-tahun, rasanya tidak ada investor besar yang masuk ke kota ini.

Keluhan lainnya biasanya tentang perilaku berkendara dan pelayanan publik. Ini juga tidak bisa saya bantah soalnya saya sendiri juga merasakannya. Senyum Sapa dan Salam jadi barang langka kalau kita sedang berurusan dengan bidang pelayanan publik. Disiplin berlalu lintas masih buruk. Walaupun tidak jelas-jelasan, kok saya ngerasa intinya yang banyak dikeluhkan rekan-rekan saya soal karakter masyarakatnya ya.

Wah ini, saya susah sekali menjabarkannya. 

...

Saya sedih orang-orang yang saya anggap dekat mengeluh soal kota ini. Soal orang-orang di kota ini. Lebih sedih lagi soalnya yang dikeluhkan itu emang bener.


345 tahun umur kota Padang, mari berbenah. Jangan dululah merengek minta disebut metropolitan. Fokus dulu aja jadi kota kecil tapi menyenangkan bagi penduduknya. Ya?

Dirgahayu Kota Padang. Kujaga dan Kubela.




Kota Padang adalah kota kelahiran saya. Di kota ini saya menghabiskan 19 tahun awal hidup saya. Cerita keluarga, masa kecil, remaja, dan romantisme pertama saya berkelindan di banyak sudut kota ini. Saya belajar setiap emosi di dalam kota ini. Saat saya akhirnya meninggalkan kota ini untuk kuliah, saya berjanji, kota ini adalah tempat saya kembali.

Nanti.

Senin, 04 Agustus 2014

Priiiiiitttt!!!!

ada dua hal yang tidak saya sukai dari Pekanbaru.
yang pertama, suhunya. PANAS DAN GERAH. menurut om wikipedia di laman kota pekanbaru , suhu udara Pekanbaru maksimum berkisar antara 34.1 °C hingga 35.6 °C. Paling ekstrim pernah mencapai 37 derajat celcius waktu kemarau kemaren. waktu kabut asap sedang parah parahnya. gini aja buat bayanginnya, jam 8 malem itu tembok rumah masih kerasa panas kalau dipegang.

yang kedua, saya tidak suka kelakuan pengendara disini. 
memang sih saya tidak punya banyak pembanding mengingat kota yang pernah saya kunjungi boleh dibilang masih terbatas jumlahnya. tapi, tanpa pembanding apapun, saya bisa katakan disiplin berlalu lintas di Pekanbaru masih sangat jelek.

Di pekanbaru ada sebuah perempatan namanya perempatan pasar pagi arengka. Saya setiap hari pergi dan pulang kantor melewati perempatan ini. Perempatan ini cukup besar lho. dari satu sisi ke sisi lain mungkin ada sekitar 30 meter. Lebih malah. di satu sisi ada pasar tradisional. Di sisi lainnya ada salah satu pusat perekonomian dan daerah pemukiman padat. Lampu merah? ada.

Tapi...
Di perempatan ini, lampu merah hampir tidak digubris. jadi yang mau lewat ya lewat saja. Bablas. Yang penting berani. Sebagian patuh sama sinyal lampu merah. tapi berentinya 10 meter setelah lampu merah. hehehe. Jadi kalau lampu merah, itu perempatan penuh sampai ke tengah-tengah. Motor atau mobil sama saja. Siapa berani, ya silakan aja jalan terus tidak peduli warna lampu. Sebagian lainnya yang tidak sempat nerabas, ya terpaksa patuh lampu merah. Tapi langsung ribut klakson-klakson begitu hitung mundur lampu merah tersisa 10 detik.

Apa susahnya sih berhenti sebelum lampu merah????

Polisi? Wah kurang tau. Jaraaaaang sekali terlihat.

Oh ya, tentu. Untuk setiap kondisi yang seperti ini, kita pasti bilang : "Tidak semua". Iya. Begitulah. tidak semua.

Keadaannya lebih baik di perempatan Mall SKA. Mobil dan motor berbaris rapi. Berhenti di belakang garis. Hanya bergerak maju ketika lampu hijau. Ehm. Ada pos polisi sih.

ada polisinya juga. pagi sampai sore bahkan malam.

Coba kita lihat di jalan protokol Pekanbaru. Oh gampang sekali ketemu pengendara motor tidak pakai helm.

Menyeberangi jalan Jenderal Sudirman di saat jam sibuk adalah pekerjaan yang sangat menyebalkan. Boro-boro memperlambat laju kendaraannya, pengendara disini bakal sibuk klakson atau nge-dim minta didahulukan. Pun begitu kalau mau U-turn.

Motor seinnya ke kiri tapi mendadak belok kanan.
Motor yang keluar gang tanpa liat kiri kanan.
Mobil yang mau belok kanan tapi ngambil lajur paling kiri.

Su~~~dah biasa.

Kenapa ya.





(Denger-denger Padang juga begitu, Ckckck. Pantas teman2 saya banyak yang tidak betah di Padang. Nanti kapan-kapan saya nulis soal ini deh)